Rabu, 06 Desember 2017

Tahlilan, selamatan kematian, puji dzikir ( 1 )

Tahlilan, selamatan kematian, puji dzikir, lek-lekan

Salah satu budaya ditengah tengah masyarakat yang sampai saat ini masih dilakukan. Tahlilan dalam rangka meninggalnya seseorang, ada yang cuma semalam ada juga yang sampai 7 malam. Ditempat yang berbeda namanyapun juga berbeda. Misal ditempat saya namanya " lek-lekan, atau tahlilan". 

Budaya ini kadang di identikkan dengan organisasi NU atau Nahdatul Ulama. Saya sendiri hidup dilingkungan Muhammadiyah, namun ternyata budaya tahlilan/ lek-lekan selepas meninggalnya seseorang masih dilakukan.

Berbagai pendapat muncul, ada yang bilang bid'ah, karena tidak ada tuntunannya, ada yang bilang boleh, karena ikut mendoaakan orang yang sudah meninggal. Yang bilang bid'ah biasanya terus tidak datang, atau kalau datang diam saja. Tetapi selama ini meski ada beda pendapat, tidak lantas terjadi perselisihan.

Tahlilan/ lek-lekan/ selamatan kematian kalau dulu sampai malam 7 hari, tetapi sekarang mengingat keadaan terus dikurangi, ada yang sampai 3 hari, 5 hari, bahkan ada yang cuma semalam. Tergantung kemampuan ekonomi masing- masing keluarga penandang duka.

Dalam acara tahlilan biasanya para tamu disajikan minuman teh beserta snack, kalau ada terus makan bersama. Di tahlilan yang terakhir kemudian dikasih sodaqoh kenduri. Seiring berjalannya waktu, wadah kenduri yang dari bambu/ besek diganti dengan tas plastik atau tas kain yang lebih praktis.


Sabtu, 25 November 2017

Budaya Nderek Langkung, Nuwun Sewu, Klamit, sudah mulai luntur

Budaya Nderek Langkung, Nuwun Sewu, Klamit, sudah mulai luntur

Jaman maju, jaman serba cepat. Semua harus berpikir cepat supaya tidak ketinggalan. Tetapi walaupun begitu sebagai orang yang hidup di pedesaan, ada hal yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan, yaitu unggah ungguh, tata krama, sopan santun. Salah satunya tentang budaya dherek langkung, nuwun sewu atau klamit ketika lewat didepan orang.

Waktu kecil, saya ingat ketika lewat didepan orang, baik jalan kaki atau naik sepeda diajarin bilang nderek langkung. 
Jangan sampai dibilang " ngemut intan atau ngemut emas. 




Pernah saya lewat depan orang, entah karena melamun atau gak lihat saya diam, eh lain waktu dikatain " lagi ngemut emas". Sebenarnya orang yang ngatain itu gak rugi juga, tapi etika kita sebagai orang desa sangat kurang. 

Budaya dherek langkung secara tidak langsung bisa untuk menambah tali silaturahmi dengan orang lain, lebih-lebih tetangga dekat. Modal kita ringan cuma sekedar ucapan tetapi berat dihasilnya. Kita ramah, merekapun ramah. 

Saya menulis bukan sok sopan, sok ramah, cuma merasa ada yang beda, kata orang " bagai makan sayur tanpa garam" ada yang kurang. 

Sering saya lihat anak-anak jaman sekarang lewat dengan seenaknya, bahkan kalau pakai kendaraan ngebut. Tidak permisi, tidak dherek langkung. Tapi bukan hanya anak-anak ding yang begitu, yang tuapun ada juga, bahkan saya lihat ada lo yang jadi pendidik. 

Akhirnya daripada menggerutu gak karuan, saya mengajak diri pribadi, dan saudara-saudara mari jaga sikap kita yang ramah, sopan, santun, ketika lewat depan orang.